Mana yang Didahulukan, Mendidik Anak Menjadi Sholeh atau Pintar ? #OrTu Wajib Baca Ini | LDII QHJ -->

Official Blog Lembaga Dakwah Islam Indonesia

01 January 2022

Mana yang Didahulukan, Mendidik Anak Menjadi Sholeh atau Pintar ? #OrTu Wajib Baca Ini

Assalamualaikum.. selamat pagi pembaca!

Kisah ini perlu dipertimbangkan..

Pagi hari ini saya sempat terinspirasi oleh dosen saya yang memberikan motivasi kehidupan yang sebenarnya, menjadi orang tua ternyata tidaklah mudah, semua harus bisa mengarahkan tujuan hakikinya hidup. Karena tidak ada manusia yang selamanya hidup, semua pasti mati, hanya saja kapan waktunya? kita belum tahu..

Berbicara masalah lama hidup manusia, saya sempat ingat tentang hasil corat-coret hitungan saya tetang lamanya hidup manusia didunia.

Begini..

#Hidup Kita Di Dunia hanya -+ 1,25 jam Di Akhirat !

Mari Kita buktikan Waktu hidup kita..
Kita bandingkan dengan hitungan waktu dunia Vs akhirat
Dalam hadist diterangkan 1 hr di Akhirat = 1000 thn di Dunia
jadi..

1 hr : 1000 thn (Andai hidup kita Hny 60 tahun atau 21.600 hr)
Jadikan perbandingan ke hari semua dulu menjadi
1 : 360.000

Jika hidup hanya 60 tahun (21.600 hr) maka hitungannya :
360.000/21.600 = 16,7
1/16,7 = 0,05 hr akhirat
Jadikan hr akhirat ke jam, sehingga menjadi
0,05 x 24 = 1,25 jam

Coba lihat.. jika hidup kita hanya sampai 60 tahun di dunia, maka bagaikan hidup selama 1,25 jam saja. #yukberbenah!

Allah maha esa dan maha segalanya, tidak sebanding jika kita dapat masuk surganya dan tinggal selamanya.. kita beribadah cuman diberi waktu 1,25 jam saja

Ohya mari ke bahasan tentang judul..

#Mana yang Didahulukan, Mendidik Anak Menjadi Sholeh atau Pintar ?

Dibawah ini adalah kisah yang saya peroleh dari forum W.a, isinya insyaAllah bermanfaat, apakah kisah dibawah ini benar atau tidak, saya juga tidak tahu, namun saya fahami isinya, ada banyak hikmahnya disana.

Sumber

Mari simak kisahnya berikut ini..

Seorang bapak kira-kira usia 65 tahunan duduk sendiri di sebuah  lounge bandara Halim   Perdana Kusuma, menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja.

Kami bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Beberapa  menit kemudian ia menyapa saya.

“Dik hendak ke Jogja juga?”
“Saya ke Blitar via Malang, Pak. Bapak ke Jogja?”
“Iya.”
“Bapak sendiri?”
“Iya.” Senyumnya datar. Menghela napas panjang.“Dik kerja dimana?”
“Saya serabutan, Pak,” sahut saya sekenanya.
“Serabutan tapi mapan, ya?” Ia tersenyum. “Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.”
Saya tertegun. “Kok begitu, Pak?”

Ia pun mengisahkan, istrinya telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan bekerja. Di Amsterdam. Di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia.  Yang bungsu, masih kuliah S2 di USA.

Ketika ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di kawasan elit Pondok Indah Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, dikawani seorang satpam, 2 orang pembantu dan seorang sopir pribadinya, ia menyeka airmata di kelopak matanya dengan tisue.

“Dik jangan sampai mengalami hidup seperti saya ya. Semua yang saya kejar dari masa muda, kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit, sampai lalai mendidik anak tentang agama, ibadah, silaturrahmi dan berbakti pada orang tua.

Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya menjelang meninggal dunia karena sakit kanker rahim yang dideritanya, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia. Sibuk. Iya, sibuk sekali…. Sementara anak bungsu saya mengabari via WA bahwa ia sedang mid - test di kampusnya sehingga tidak bisa pulang...”

“Bapak, Bapak yang sabar ya….”
Tidak ada kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu.
Ia tersenyum kecut.
“Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya dik...

Meski telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni sangkan paraning dumadi. Bukan materi sebanyak apa pun. Tetapi, dari mana dan hendak ke mana kita akhirnya. Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Di luar itu, semua semu. Tidak hakiki..

Adik bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya..”
Ia mengelus bahu saya dan saya tiba-tiba teringat ayah saya.
Spontan saya memeluk Bapak tsb..
Tak sadar menetes airmata..
Bapak tua tersebut juga meneteskan airmata..

..kejadian ini telah menyadarkan aku, bahwa mendidik anak tujuan utamanya harus shaleh bukan kaya. Tanpa kita didikpun rejeki anak sudah dijamin oleh Tuhan, tapi tidak ada jaminan tentang keimanannya, orang tua yg harus berusaha untuk mendidik dan menanamkannya.

Di pesawat, seusai take off, saya melempar pandangan ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung, terasa diri begitu kecil lemah tak berdaya di hadapan kekuasaan-Nya...
HIDUP ITU SEDERHANA SAJA. MENCARI REZEKI JANGAN MENGEJAR JUMLAHNYA TAPI KEJAR BERKAHNYA.
Semoga menginspirasi..

Share on Facebook
Share on Twitter

Related Post: